Al Quran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis
secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang
menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat mendorong dan
memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka.
Al Quran mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan
petunjuk-petunjuk dalam masalah bisnis yang dapat diklasifikasikan dalam 3
(tiga) bagian, yakni sebagai berikut:
1. Kebebasan dalam Usaha
2. Keadilan Sosial
3. Tatakrama Perilaku Bisnis
Al Quran mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan memindahkan
suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Al Quran mengakui otoritas
deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang individu atau
kelompok. Al Quran memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi apa
saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh
Syariah. Kekayaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat dan
tindakan penggunaan harta orang lain dengan cara tidak halal atau tanpa izin
dari pemilik yang sah merupakan hal yang dilarang. Oleh karena itu,
penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama
sebagaimana terungkap dalam Surah An Nisaa’ ayat 29.
Pengakuan Al Quran terhadap pemilikan harta benda, merupakan dasar legalitas
seorang Muslim untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan harta
miliknya, apakah dia akan menggunakan, menjual atau menukar harta miliknya
dengan bentuk kekayaan yang lain. Al Quran memberikan kebebasan berbisnis
secara sempurna, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pembatasan dalam
hal keuangan dan kontrol pertukaran juga dibebaskan, karena hal itu menyangkut
kebebasan para pelaku bisnis. Kompetensi terbuka didasarkan pada hukum natural
dan alami, yakni berdasarkan penawaran dan permintaan (supply dan demand).
Akan tetapi perlu diingat bahwa legalitas dan kebebasan di atas, jangan
diartikan dapat menghapuskan semua larangan tata aturan dan norma yang ada di
dalam kehidupan berbisnis. Seorang Muslim diwajibkan melaksanakan secara penuh
dan ketat semua etika bisnis yang ditata oleh Al Quran pada saat melakukan
semua transaksi, yakni:
1.Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang melakukan
transaksi;
2.Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah
3.Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai
4.Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar
5.Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak saat jika mendapatkan
kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan (Khiyar Ar-Ru’yah)
6.Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi dalam
jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar Asy-
Syarth)
Meskipun dalam melakukan transaksi bisnis, seorang Muslim harus juga
memperhatikan keadilan sosial bagi masyarakat luas. Ajaran Al Quran yang
menyangkut keadilan dalam bisnis dapat dikategorikan menjadi dua, yakni
bersifat imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan.
Salah satu ajaran Al Quran yang paling penting dalam masalah pemenuhan janji
dan kontrak adalah kewajiban menghormati semua kontrak dan janji, serta
memenuhi semua kewajiban. Al Quran juga mengingatkan bahwa setiap orang akan
dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan
kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah Al Israa’ ayat 34.
Hal ini merupakan bukti nyata bahwa Al Quran menginginkan keadilan terus
ditegakkan dalam melakukan semua kesepakatan yang telah disetujui.
Kepercayaan konsumen memainkan peranan yang vital dalam perkembangan dan
kemajuan bisnis. Itulah sebabnya mengapa semua pelaku bisnis besar melakukan
segala daya upaya untuk membangun kepercayaan konsumen. Al Quran berulangkali
menekankan perlunya hal tersebut, melalui ayat-ayat yang memerintahkan umat
Islam untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan akurat, dan
memperingatkan dengan keras siapa saja yang melakukan kecurangan akan mendapat
konsekuensi yang pahit dan getir dari Allah SWT.
Islam juga peduli terhadap hukum perlindungan terhadap hak-hak dan kewajiban
mutualistik antara pekerja dengan yang mempekerjakan. Etika kerja dalam Islam
mengharuskan, bahwa gaji dan bayaran serta spesifikasi dari sebuah pekerjaan
yang akan dikerjakan harus jelas dan telah disetujui pada saat adanya
kesepakatan awal, dan pembayaran telah dilakukan pada saat pekerjaan itu telah
selesai tanpa ada sedikitpun penundaan dan pengurangan. Para pekerja juga
mempunyai kewajiban untuk mengerjakan pekerjaannya secara benar, effektif, dan
effisien. Al Quran mengakui adanya perbedaan upah di antara pekerja atas dasar
kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan sebagaimana yang dikemukakan
dalam Surah Al Ahqaaf ayat 19, Surah Al Najm ayat 39-41.
Sungguh sangat menarik apa yang ada dalam Al Quran yang tidak membedakan
perempuan dengan laki-laki dalam tataran dan posisi yang sama untuk masalah
kerja dan upah yang mereka terima, sebagaimana yang terungkap dalam Surah Ali’
Imran ayat 195.
Al Quran memerintahkan kepada manusia untuk bertindak jujur, tulus, ikhlas,
dan benar dalam semua perjalanan hidupnya, dan hal ini sangat dituntut dalam
bidang bisnis. Islam memerintahkan semua transaksi bisnis harus dilakukan
dengan jujur dan terus terang, dan tidak dibenarkan adanya penipuan, kebohongan
serta eksploitasi dalam segala bentuknya. Perintah ini mengharuskan setiap
pelaku bisnis secara ketat berlaku adil dan lurus dalam semua dealing dan
transaksi bisnisnya.
Islam juga menganjurkan, untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaan tanpa ada
penyelewelengan dan kelalaian, dan bekerja secara efisien dan penuh
kompentensi. Ketekunan dan ketabahan dalam bekerja dianggap sebagai sesuatu
yang mempunyai nilai terhormat. Suatu pekerjaan kecil yang dilakukan secara
konstan dan professional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan
dengan cara musiman dan tidak professional. Hal ini sesuai dengan Sabda
Rasullulah yang berbunyi “Sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang dilakukan penuh
ketekunan walaupun sedikit demi sedikit.” (Hadist diriwayatkan oleh H.R.
Tirmidzi).
Kompentensi dan kejujuran adalah dua sifat yang membuat seseorang dianggap
sebagai pekerja handalan seperti yang dinyatakan dalam Surah Al Qashash ayat
26.
Standard Al Quran untuk kepatutan sebuah pekerjaan adalah berdasarkan pada
keahlian dan kompetensi seseorang dalam bidangnya. Ini merupakan hal penting,
karena tanpa adanya kompentensi dan kejujuran, maka bisa dipastikan tidak akan
lahir efisiensi dari seseorang. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi
pemilik otoritas untuk melakukan investigasi sebelum ia menentukan seseorang
dalam jabatan publik tertentu, terutama dalam posisi-posisi kunci dan pengambil
keputusan.
Al Quran juga memerintahkan kaum Muslimin untuk melakukan penyelidikan dan
verifikasi (tabayyun) terhadap semua pernyataan dan informasi yang datang
sebelum ia mengambil suatu keputusan dan melaksanakan sebuah aksi (tindakan),
serta melaksanakan investigasi terhadap komoditas tertentu sebelum memutuskan
untuk melakukan pembelian.
Dalam rangka penerapan keadilan dalam perilaku bisnis, Al Quran telah
memberikan petunjuk-petunjuk yang pasti bagi orang-orang yang beriman yang
berguna sebagai alat perlindungan sebagaimana yang diatur dalam Surah Al
Baqarah ayat 282-283. Alat perlindungan yang dimaksud adalah mebuat kontrak
pada saat bisnis dilakukan, terutama untuk jual-beli yang dilakukan tidak
dengan cara tunai (cash). Penulisan Kontrak tersebut harus disertai dengan
saksi, minimal 2 (dua) orang laki-laki atau 1 (satu) orang laki-laki dan 2
(dua) orang perempuan. Perlindungan lainnya, bagi transaksi bisnis yang tidak
dilakukan dengan tunai adalah jaminan barang milik pihak yang berhutang kepada
pihak yang memberi piutang hingga seluruh transaksi pembayaran terakhir selesai
dilaksanakan.
Dalam pandangan Al Quran, tanggung jawab individual sangat penting dalam
sebuah transaksi bisnis. Karena setiap individu bertanggungjawab terhadap semua
transaksi yang dilakukannya dan tidak ada seorangpun yang memiliki previlage
tertentu atau imunitas untuk menghadapi konsekuensi terhadap apa yang
dilakukannya. Hal tersebut merupakan alat pencegah terhadap terjadinya tindakan
yang tidak bertanggungjawab, karena setiap orang akan dimintai
pertanggung-jawabannya baik di dunia maupun di akhirat.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
Indahnya Berbisnis secara Islami
Kamis, 03 Januari 2008
Assalamualaikum wr. wb. Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri, saya seorang pedagang di kawasan pusat perbelanjaan
Mangga Dua, Jakarta. Saat ini, saya tertarik untuk melaksanakan bisnis sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Pertanyaan yang timbul, saya orang yang awam yang belum banyak mengerti mengenai bagaimana tata cara
bertransaksi sesuai dengan syariah Islam. Pada kesempatan ini, saya memohon sekiranya pengasuh kontak tanya
jawab ekonomi syariah PKES berkenan memberikan penjelasan mengenai pandauan berbisnis secara syariah. Terima
kasih. Wassalamualaikum wr. wb. Anton Wijaya-Mangga Dua Jakarta
Wa’alaikumussalam wr. wb. Sahabat Anton yang baik, kami ikut bersyukur akan niatan sahabat Anton untuk
melakukan kegiatan bisnis sesuai dengan kehendak tuntunan syar’i. Sebagai umat Islam, memang seharusnya
kita dituntut untuk mengamalkan ajaran Islam secara sempurna (kaffah), baik dari sisi ibadah ataupun muamalah. Dalam
hal ini, kegiatan berbisnis merupakan salah satu bagian dari aspek muamalah. Paling tidak ada dua keuntungan, jika
kita melakukan bisnis secara Islami. Pertama, keuntungan spiritual; seseorang yang berbisnis secara Islami akan
merasakan ketenangan dan ketentraman dalam jiwanya. Karena secara tidak langsung, mereka yang berbisnis secara
Islami, yang prakteknya mengacu kepada ajaran Islam, sedang dalam kondisi ber-dzikir kepada Allah Azza wa Jalla.
Dzikir dalam artian selalu ingat dan tunduk kepada aturan dan norma bisnis yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa
Jalla. Hal ini, sesuai dengan janji Allah, ala bidzikrillahi tathmainnul qulub, “perhatikanlah, dengan mengingat dan
patuh kepada Allah akan memberikan rasa ketenangan kepada hati kita”. Kedua, keuntungan material; Jelasnya,
seseorang yang melakukan bisnis dapat dipastikan ingin memperoleh keuntungan secara materi. Dalam hal ini, juga
terjadi bagi seseorang yang melakukan bisnis secara Islami. Berbisnis secara Islami juga akan menambah keuntungan
dalam permodalan. Aset kekayaan kita akan bertambah banyak. Beberapa anggapan yang kurang tepat mengenai
kegiatan bisnis secara Islami perlu diluruskan, termasuk anggapan bisnis secara Islami cenderung bersifat sosial dan
tidak mencari keuntungan. Ada beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan panduan dalam melakukan kegiatan bisnis
sesuai dengan syariah Islam: (i) larangan riba dan bunga, (ii) menyuburkan praktek jual-beli, (iii) terhindar dari gharar
dan maysir, (iv) menggalakkan praktek zakat dan shadaqah. Pertama, larangan riba dan bunga; Sudah tidak ada
keraguan lagi, bahwa bunga bank yang kita kenal saat ini merupakan penjelmaan dari praktek riba yang pernah terjadi
pada masa Rasulullah Saw. Oleh karena itu, setiap aktivitas bisnis yang kita jalankan hendaklah terhindar dari praktek
riba dan bunga bank. Sudah menjadi pemahaman kita secara umum, bahwa mempraktekkan riba atau bunga dalam
kegiatan bisnis tidak akan memberikan keuntungan atau manfaat, tetapi sebaliknya akan membawa kita pada kondisi
kemudharatan. Banyak teguran keras kepada kita untuk menjauhi praktek riba dan bunga. Di antaranya, praktek riba
dan bunga termasuk kategori dosa besar dan pelakunya sama dengan orang yang berbuat zina. Kedua, menyuburkan
praktek jual beli; Pintu riba sudah tertutup, sebaliknya pintu jual-beli dibuka lebar-lebar. Ini merupakan jalan keluar yang
telah dipilihkan oleh Allah Azza wa Jalla bagi umat Islam. Perniagaan, atau biasa disebut juga dengan jual-beli,
memberikan pilihan bagi umat Islam untuk menggiatkan praktek ini. Tetapi, perlu diingat juga bahwa tidak semua model
transaksi jual-beli diperbolehkan dalam Islam. Ada beberapa model transaksi jual-beli yang dilarang dalam Islam,
termasuk didalamnya transaksi yang tidak memenuhi syarat dan rukun jual-beli atau jual-beli yang barangnya tidak jelas
(taghrir). Saat ini, sudah banyak berkembang model transaksi yang mengacu kepada prinsip jual-beli, misalnya alba&
rsquo;i bi tsaman ajil, murabahah, salam dan istishna’. Ketiga, terhindar dari gharar dan maysir; Gharar
adalah unsur ketidakjelasan dalam transaksi, ada sesuatu yang disembunyikan. Sedangkan maysir adalah unsur untunguntungan
yang didalamnya mengandung perjudian. Prinsip ini menegaskan kepada kita, selaku pebisnis yang terikat
dengan norma Islam, harus melepaskan setiap aktivitas bisnis dari unsur gharar dan maysir. Artinya, dalam setiap
transaksi bisnis harus jelas, baik dari sisi akad maupun implikasi yang ditimbulkan oleh akad tersebut. Keempat,
menggalakkan praktek zakat dan shadaqah; Nilai instrinsik yang terkandung dalam praktek zakat dan shadaqah adalah
terwujudnya praktek distribusi kekayaan yang berkeadilan di antara umat Islam. Islam melarang keras penimbunan harta
kekayaan dan perputaran harta hanya kepada sebagian orang tertentu saja. Sebagai solusinya, Islam men-syariat-kan
praktek zakat dan shadaqah bagi umatnya. Artinya, keuntungan bisnis yang kita peroleh bukanlah hak milik kita semua,
tetapi sebagian dari keuntungan bisnis itu ada hak saudara kita yang lain, yang kita keluarkan melalui instrumen zakat
dan shadaqah. Demikian, penjelasan mengenai panduan singkat dalam menjalankan bisnis sesuai dengan tuntunan
syariah Islam. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Wallahu’alam bis showab. [hsn]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar